Jari Patah

10 Oktober 2009

Cerpen: Agus Fahri Husein
Republika
Minggu, 25 November 2007


Dari mana harus memulai ceritanya? Barangkali lebih mudah memulainya dari orang itu saja. Orang yang di saku celananya cuma ada Rp 20.000. Orang miskin. Soal kemiskinannya itu sebabnya kebanyakan karena kesalahannya sendiri, karena kebodohan dan kemalasan. Orang tidak bisa menyalahkan orang lain karena kemiskinannya, atau mengatakan "sudah takdir Tuhan". dalam hal ini Tuhan tidak bisa dipersalahkan sama sekali, sebab Tuhan hanya memberi kepada mereka yang berusaha.

Dan, orang itu, yang tubuhnya pendek, kulitnya hitam, dan rambutnya keriting kecil-kecil, sudah jelas kebodohannya, tetapi dia bukan orang malas dalam bekerja dan lagi terkenal jujur. Baiklah dipahami, Tuhan memberi berdasar kecerdikan orang juga. Orang itu bodoh, sebab jika tidak bodoh tentu dia tidak akan jadi helper setiap bergabung dalam proyek. Tiap kontraktor yang mengenalnya, jika butuh helper yang mau jadi bola, rela ditendang kesana kemari, dialah orangnya.

Helper adalah posisi terendah dalam grup kerja. Tugasnya melayani teknisi, atau pekerjaan apa saja sepanjang tidak membutuhkan skill, dan sering harus ikhlas menampung caci-maki, atau gurauan yang tidak semestinya. Dan orang itu, karena kebodohannya, tidak mampu memperlajari ketrampilan-ketrampilan, seperti misalnya mengelas atau memasang batu-bata.

Anak orang inilah yang jarinya patah, dan yang kemudian membuat saya marah dan berkata tidak senonoh kepada dokter dan para perawat di UGD. Saya secara kebetulan bertemu orang itu, ketika anak bungsu saya sedang dirawat di ruang VIP RSUD. Anak saya masih kecil, dan wabah DB itu sedang terjadi di mana-mana. Meskipun anak saya gemuk, kena juga.

Kegemukan anak saya merepotkan para perawat, sebab mereka kesulitan menemukan urat darah, untuk memasukkan jarum infus. Setelah tangan kanan dicoba dan gagal, kemudian pindah ke tangan kiri. Anak saya tidak menangis, tetapi marah-marah. Para perawat dibentak-bentak: Dibilang sakit ya sakit! Sudah!

Tetapi anak itu tidak bisa melawan, tubuhnya sudah lemas. Setelah berjuang beberapa lama akhirnya perawat itu berhasil juga. Anak itu masih marah-marah, bahkan setelah dia dibaringkan di kamarnya di ruang VIP -- ada AC, kulkas, televisi, meja tamu, dan kamar mandi -- dengan jendela dan pintu keluar menghadap tempat parkir mobil.

Dari jendela itulah saya melihat dia, yang jari anaknya patah, berjalan mondar-mandir di halaman UGD, sebentar masuk, sebentar keluar. Dari ambang pintu saya teriaki dia. Setelah tengok kanan-kiri, dia melihat saya di ambang pintu, kemudian setengah berlari, ''Aduh Pak! Bersyukur sekali Bapak ada di sini. Saya telepon ke rumah, tidak diangkat, ke HP, juga tidak diangkat.... Aduh, maaf, Pak. Siapa yang sakit, Pak?''

Untunglah dia lekas menyadari, sebab kurang ajar sekali jika dia merasa bersyukur karena bertemu saya di rumah sakit, meskipun dia belum tahu anak saya kena DB. Sudah pasti tidak ada yang mengangkat telepon, di rumah tidak ada orang, dan HP saya entah di mana, tidak sempat saya pikirkan.

Setelah dokter tetangga memeriksa anak saya, termometer di ketiak menunjuk angka 39, sambil membasahi kepala anak itu dengan handuk basah sampai ke lehernya. ''Langsung dibawa ke UGD ya, Pak!'' Perkataan seperti itu, yang diulang lagi ketika dia menulis surat rujukan, pastilah membuat setiap orang yang punya anak jadi gugup, dan istri saya panik.

Orang ke rumah sakit tentu saja dengan membawa masalah, juga orang itu, dengan kegugupannya yang tidak dibuat-buat, menceritakan anaknya yang jarinya patah. Sekarang masih tergeletak di UGD, ditunggu ibunya, dan belum ditangani, karena, seperti dikatakannya dengan setengah menangis, dia tidak punya kartu asuransi, tidak ada rujukan dari Puskesmas, dan di kantong celananya cuma ada Rp 20.000.

''Mohon maaf, saya terpaksa merepotkan Bapak. Tolonglah saya, katakan kepada dokter, sudilah Bapak menjadi penjamin saya.'' Kalau tidak saya cegah, tentulah dia sudah mencium lutut saya. Dengan cara itu dia membawa saya kembali ke UGD.

Anak itu, yang jari telunjuk kirinya patah, tergeletak tak tersentuh, di sudut ruangan, merintih-rintih hampir tak bersuara memegangi jarinya yang patah. Ibunya mengipasinya dengan selembar koran sambil membujuknya. Di samping anak itu tergeletak botol minuman yang tinggal separoh isinya.

Anak itu jatuh dari sepeda, menabrak kucing. Sepeda dan kucing tidak apa-apa, dan karena upayanya untuk menyangga badannya yang terjatuh, jarinya terlipat ke belakang dan patah. Tidak keluar darah, tetapi melihat bengkak dan birunya, kemungkinan terjadi pendarahan di dalam.

Siapapun yang pernah patah jarinya, tentulah bisa membayangkan bagaimana sakitnya. Dan, dia anak laki-laki. Jari tangan sangat penting untuk bekerja. Dan nanti, jika akan beristri, apa jadinya jika jari telunjuk tangan kirinya terpaksa diamputasi karena terlambat ditangani? Perempuan tidak suka punya suami yang jari telunjuk kirinya diamputasi.

Saya pandangi sekeliling. Tidak ada pasien lain. Dokter dan para perawat tengah asyik mengobrol sendiri-sendiri. Dan, dokter itu, perempuan muda dan cantik, yang tadi saya kagumi karena keramahannya, mengatakan tidak ada kartu, tidak ada rujukan, dan orang itu tidak punya uang, kecuali Rp 20.000 di saku celananya, dan sekarang sudah sore.

Mejanya saya gebrak sekerasnya. Dia terdiam dan pucat, juga para perawat yang tengah mengobrol. Lalu tanpa tertahan lagi keluar kata-kata tidak senonoh itu dari mulut saya. Saya katakan bahwa semua ini, biaya perawatan jari patah anak orang miskin, jangan dikira gratis! Semua dibiayai APBD, dan jumlahnya mencapai sembilan miliar per tahun! Soal kartu atau yang lainnya itu bisalah diurus nanti! Jangan sampai ada anak mati tak terawat karena orang tuanya tak punya kartu. Cobalah pikirkan, jika anakmu jarinya patah dan di sakumu tak lebih Rp 20.000. Rawat!

Sudah cukup saya kira. Tanpa mengeluarkan suara, mereka jadi cekatan sekali menangani anak itu. Tak sampai seperempat jam, jari anak itu sudah diganjal kayu dan digips. Dokter ramah kembali, setengahnya karena takut.

Karena cuma ada Rp 20.000 di saku celananya, orang itu saya beri Rp 300.000 supaya dia bisa beli obat dan ongkos pulang. Saya bisa memberinya lebih banyak, tetapi tidak saya lakukan, karena saya tidak suka berlebihan, dan nanti tidak baik bagi dia. Saya tidak mau dia merasa hutang budi. Rp 300.000 sudah cukup, mungkin masih ada sisanya sedikit. Dan, seperti tadi, orang itu hendak mencium lutut saya, tetapi saya cegah. Saya tidak suka lutut saya dicium.

Saya segera kembali ke Si Gendut yang terkena DB. Karena hujan, saya tidak bisa lewat halaman, saya harus lewat lorong dalam, yang dijaga satpam. Pintu itu ditutup, karena bukan jam bezoek. Ada beberapa orang yang hendak masuk ditolak, dan beberapa lagi, yang punya kartu tunggu, harus membukai barang bawaannya. Sebab, seperti dikatakan satpam, banyak yang cuma membawa sampah.

''Bapak mau ke mana?'' Begitu garang nada suaranya, tetapi berubah seketika setelah mendengar kata "VIP" dari mulut saya. ''Silahkan, Pak. Silahkan.''

Dibukanya pintu untuk saya. Si Gendut beruntung punya orang tua seperti saya. Meskipun tidak kaya sekali, namun mampu membayar rawat-inap di kamar VIP. Dia harusnya tidak boleh marah hanya karena ditusuk lengannya, meskipun, ya memang sakit juga.***

Cilegon, Mei 2007

Jantung Batu

08 Oktober 2009

Cerpen: Azwar

Suara Pembaruan
Minggu, 26 Agustus 2007


Senja rebah ke tepian, sudah lebih dua putaran jarum jam. Tapi sisa-sisa gerah udara kota masih saja berbekas di malam itu. Tempat kos sederhana itu terasa semakin panas bagi Sutan. Sudah sejam lebih dia bermenung dan sesekali mondar mandir di depan ruangan yang hanya dibatasi triplek. Triplek tipis yang tidak bisa meredam suara-suara yang terjadi dalam ruangan di dalamnya. Ada erangan dan rintihan perempuan kesakitan, sakitnya terasa di jatung Sutan. Berkali-kali, beratus kali, beribu kali. Sakit.

Dalam pikiran Sutan berterbangan wajah ibu yang melahirkan, menyusui, dan bersusah payah mempertahankan hidupnya. Ibu yang dengan air mata menimang-nimang di larut malam saat tangisannya datang tanpa kenal waktu. Siang, petang, dan malam perempuan itu menderita karenanya. Kini, seorang perempuan juga sedang menghabiskan penderitaan untuk hidup dan dia menumpang hidup dari derita perempuan itu.

"Betapa terkutuknya aku." Batinnya pedih. Dalam galau yang semakin tidak menentu itu seorang laki-laki paruh baya keluar sambil merapikan celananya. Dia menyeka keringat di wajah, merapikan kemeja, lalu menyambar tas di atas meja tua di pojok ruangan sederhana itu.

"Tugas kuliah untuk besok tidak usah dibuat, aku kasih nilai A untuk mata kuliah Budi Perkerti kalian."

Sutan tidak menjawab, dia tidak melihat wajah lelaki itu, bukan karena tidak berani, tapi benci karena laki-laki itu memanfaatkan kemiskinannya. "Anjing," makinya dalam hati.

Sambil tersenyum puas yang nakal, laki-laki itu pergi. Dia pergi meninggalkan luka yang menganga di hati Sutan. Setelah laki-laki itu hilang di telan kelam malam, Sutan menyibakkan tirai pintu. Di atas tilam lusuh seorang perempuan terbaring lelah, menyamping menghadap dinding yang dilapisi kertas koran. Rambutnya tergerai basah karena keringat, tubuhnya mengkilat entah karena keringat atau bekas dijilat. Di samping perempuan itu berserakan lima lembar uang dua puluh ribuan. Sutan mendekati perempuan itu, sunyi waktu itu pecah oleh derit ranjang yang didudukinya. Setelah itu kembali sepi, hanya tangan Sutan bergerak menaikkan kain jawa hingga menutupi tubuh perempuan yang terbaring itu. Waktu itu dia tidak kuasa untuk menahan tangannya agar tidak membelai bahu gadis itu.

"Sutan...aku lelah."

Sutan menarik tangannya, memang dia tidak bermaksud untuk mengulang menyakiti perempuan itu. Dia berharap dengan belaiannya perempuan itu tahu kalau dia merasakan kepedihan yang sama, duka yang sama.

"Alia...aku belikan makan malam untukmu."

Tak ada jawaban, hanya sunyi menari-nari. Perempuan itu masih memunggungi Sutan, dia raba-raba di sekitar tempat tidurnya hingga menemukan selembar uang. Lalu di remasnya dan diberikannya pada Sutan. Tangan Sutan bergetar menerimanya, dengan perasaan tidak menentu dia pergi keluar ruangan. Setelah Sutan pergi, perempuan itu mencuri-curi pandang melihat punggung Sutan. Sejujurnya dia tahu kalau laki-laki itu menahan sebak air mata yang berlinangan di matanya.

"Sutan...jangan lupa belikan dua lembar kertas folio."

Sutan berhenti, tanpa menoleh dia berkata pelan.

"Kata Pak Gun kita tidak usah mengerjakan tugas, nilai akhir sudah ada."

Sebenarnya Alia tidak percaya dengan janji dosen itu, tapi dia tidak ingin bersuara lagi. Badannya terasa remuk, sementara perih seperti diiris-iris pisau masih membekas di tubuhnya. Dia lelah. Dia sakit. Dia menangis.

Dalam butir-bitir air matanya ada kehidupan lama yang juga sakit dalam kenangan. Panas desa, tanah retak, dan terik matahari. Sementara itu suara martil berdering-dering hinggap di batu. Dari kejauhan sebuah truk merangkak berjuang mendekati onggokan batu yang dikumpulkan Alia. Melihat kedatangan truk itu, dia berhenti memecah batu. Menyeka keringat dengan handuk lusuh yang tergantung di lehernya, lalu menyingkir ke sebuah warung beberapa meter dari tempatnya mengumpulkan batu.

Sopir truk itu menyusul ke warung setelah memarkir truk tepat di sisi tumpukan batu yang dikumpulkan Alia.

"Berapa sekarang ?"

"Seratus lima puluh, harga batu murah, orang lebih suka menggunakan batu sungai untuk membuat pondasi rumah, sementara pabrik dolomit sudah kelebihan batu gunung."

Alia pasrah mendengar penuturan sopir truk itu. Ia mengambil sebuah botol aqua lalu duduk di balai-balai warung itu. Sopir truk menghampiri Alia, lalu mengeluarkan empat lembar uang lima puluh ribu.

"Untukmu..."

Alia menerima uang penjualan batu, lalu matanya menatap jijik pada sopir truk itu yang mengipas-ngipaskan uang lima puluh ribu. Saat Ina -pelayan penjaga warung- meletakkan kopi panas untuk sopir truk itu, lak-laki itu menangkap pinggang Ina dari belakang, menyelipkan uang lima puluh ribu ke balik dada Ina, lalu mereka tertawa ke ruang belakang tempat istirahat sopir truk sambil menunggu muatan.

Alia sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu. Memang jarang perempuan yang kuat memecah batu, makanya Ina memilih menjual tubuhnya dari pada harus susah-susah memecah batu. Tidak lama, bak belakang truk sudah penuh diisi dengan batu. Laki-laki buruh angkat yang mengisi truk menutup ombeng belakang, lalu berjalan ke warung untuk mengambil upah angkatnya.

"Sutan..., ini upah angkatmu."

Alia menyerahkan selembar uang lima ribu rupiah, lalu berjalan meninggalkan satu-satunya warung di ladang batu itu.

"Woi...Alia..., hutangmu !"

"Besok aku bayar, ndak ada uang kecil."

Alia berlalu, tidak menghiraukan teriakan Bu Ami pemilik warung. Sutan menyusul, diambilnya perkakas kerja yang ditenteng Alia.

"Biar aku yang bawa."

Alia menyerahkan perkakas kerjanya pada Sutan, mereka beriringan berjalan pulang.

"Nanti aku pinjam bukumu."

"Nanti malam aku antar ke rumahmu."

"Terimakasih."

"Sutan...jadi kau kuliah."

"Entahlah, aku lihat dulu."

"Apa kamu betah seumur hidup menjadi tukang batu ?"

Senja turun di jalanan berbatu yang penuh debu. Alia dan Sutan beriringan pulang ke rumah tidak jauh dari ladang penggalian batu. Dua remaja SMU itu berpisah di simpang jalan yang memisahkan rumah mereka.

Kenangan itu adalah apa yang terjadi tiga tahun lalu, saat mereka masih di kampung ketika masih sekolah di SMU. Di desa, sekolah tidak serumit di kota, makanya Sutan dan Alia bisa menjual satu truk batu yang dikumpulkan di ladang batu milik kaumnya selama seminggu. Sementara Sutan yang tidak punya ladang batu, memilih untuk menjadi buruh tukang angkat. Dengan kerja seperti itulah mereka bisa mengumpulkan uang untuk bekal mendaftar di perguruan tinggi.

Di kota ternyata tidak seperti yang mereka duga. Suatu malam, Alia minta ditemani oleh Sutan untuk pergi ke rumah dosen mengurus nilainya. Dengan berjalan kaki sejauh 5 km mereka pergi ke rumah Pak Gun.

"Mengapa tidak diselesaikan di kampus saja ?"

Alia menghentikan langkahnya, ditatapnya mata Sutan, dalam.

"Bukankah sudah aku katakan, kalau Pak Gun itu tidak punya cukup waktu untuk menyelesaikannya di kampus."

Alia mulai tidak bisa mengontrol emosinya, lelah berjalan mungkin menguras kesabarannya.

"Kalau kau keberatan menemaniku, biarlah aku sendiri yang pergi."

Setelah berkata seperti itu, Alia kembali berjalan. Kata-kata itu bagi Sutan bukannya membebaskan, tetapi menyeret langkahnya mengikuti Alia.

"Aku hanya mengkhawatirkanmu, bagaimana kalau..."

Sutan tidak melanjutkan kata-katanya, Alia tidak menjawab kata-kata Sutan. Dalam hati dia sudah bertekad untuk menghadapi segala apa yang terjadi. Tak lama membisu di jalanan, akhirnya mereka sampai ke alamat rumah yang diberikan Pak Gun. Dari luar rumah kelihatan sepi, ragu-ragu Alia mengetuk pintu.

"Siapa ?"

Dari dalam terdengar suara berat Pak Gun.

"Saya Pak, Alia."

Setelah itu, terdengar langkah terburu-buru membukakan pintu, dari balik pintu Pak Gun tersenyum lebar menyambut tamunya. Saat Alia dan Sutan melangkah memasuki rumah itu, kesan sepi yang terasa ternyata benar-benar sepi, di rumah itu tidak ada siapa-siapa kecuali dua ekor kucing dan seekor burung hantu yang bertengger pada gantungan di pojok ruangan. Pak Gun mempersilahkan tamu-tamunya duduk di kursi tamu. Setelah berbasa-basi Alia mengutarakan maksud kedatangannya.

"Pak...saya mengurus nilai BL Pengantar Etika."

Dosen itu tersenyum, lalu mengeluarkan sebatang rokok dari kotaknya, meletakkan di bibir hitamnya, sambil menyulut dengan api.

"Nilaimu sudah tidak bisa tertolong, kalaupun akan diberi nilai, paling D atau E."

Alia menatap wajah Pak Gun dengan pandangan memelas, Sutan yang duduk di sampingnya tidak bisa berbuat apa-apa, hanya mempermainkan kukunya.

"Pak saya datang ke sini minta pertolongan Bapak."

Alia masih memelas, lalu Sutan menambahkan.

"Apa tidak bisa diselamatkan nilainya Pak ?"

Dosen itu seperti di atas angin, dia hembuskan asap rokok dari mulutnya.

"Bisa saja."

Pak Gun berdiri, kemudian memberi isyarat pada Alia untuk mengikutinya. Sementara Sutan disuruhnya untuk tetap menunggu di ruang tamu. Walau ragu, Alia mengiringi langkah Pak Gun. Dalam pikirannya mungkin Pak Gun akan memperlihatkan nilai-nilai ujiannya. Sutan pun berpikir seperti itu, makanya dia biarkan Alia ke ruang kerja Pak Gun. Prasangka buruk mulai berlintasan dalam pikiran Sutan setelah cukup lama Alia berada dalam ruang kerja Pak Gun. Semakin lama, semakin menjadi dugaan yang tidak dapat di bayangkan Sutan.

Beberapa waktu kemudian ternyata benar, Alia keluar sambil menangis tertahan. Dia berlari, meninggalkan rumah Pak Gun. Saat Gun keluar sambil merapikan pakaiannya Sutan memandang jijik pada dosennya itu. Tapi hanya sebatas pandangan, setelah itu dia menyusul Alia. Malam itu temannya telah menyerahkan sesuatu yang berharga pada dirinya untuk menebus nilai kuliahnya.

Sejak saat itu Alia telah memilih jalan terburuk dari hidupnya. Dia telan kepahitan, dia relakan untuk menjual tubuhnya, sementara Sutan sendiri yang menjadi germonya.

u

Saat Sutan kembali membeli nasi, tiba-tiba dibekangnya menyusul Pak Un. Pegawai TU di kampusnya. Sutan sudah tahu maksud kedatangan Pak Un, bukankah sekarang bulan baru, tentu tadi siang dia sudah gajian.

"Sutan...bisa ?"

"Dia lelah, barusan ada tamu."

"Alah... kau kira aku tidak akan bayar lagi ? Ini kau ambil."

Pegawai TU itu memasukan tiga lembar uang lima puluh ribu ke kantong baju Sutan, lalu tanpa dapat dicegah, dia menerobos masuk ke dalam ruangan tempat Alia sedang terbaring lelah. Sutan tidak jadi makan, dia letakkan dua bungkus nasi itu di atas meja di sudut ruangan. Dia mondar-mandir di ruangan sempit yang terasa semakin sempit itu. Hatinya semakin tidak menentu, menjalani hidup yang tidak dipilihnya itu.

Setengah jam berlalu, pegawai TU itu keluar dari kamar. Laki-laki itu menyeringai puas seperti binatang. Sutan tidak berani masuk ke dalam kamar. Dia masih menata hatinya saat itu. Cukup lama Sutan duduk di luar sambil menyesali nasib. Saat dia lihat dua bungkus nasi di atas meja, baru dia sadar bahwa Alia pasti sudah kelaparan, makanya dia buru-buru masuk ke dalam kamar membawa nasi. Sementara di dalam kamar Alia hanya mengenakan handuk selesai mandi, dia sangat lelah dan saat itu keinginannya hanya tidur. Sutan meletakkan dua bungkus nasi begitu saja di lantai. Dia tidak jadi makan, dia juga tidak merasakan bagaimana kepedihan yang diderita Alia, bahkan ketika dia menindih perempuan itu beberapa waktu kemudian, dia juga tidak tahu kalau jantung wanita itu sudah mengeras seperti batu.***

Padang, Februari 2007

Jalan-jalan Minggu

07 Oktober 2009

Cerpen: Pidi Baiq

Pikiran Rakyat

Sabtu, 04 Agustus 2007

Sudah enam bulan ini saya sudah tidak pernah lagi jogging pagi. Hari ini juga tidak karena hari ini juga saya harus pergi. Bukan harus. Tapi ingin. Naik motor, bawa anak dan istri.
Setiap Minggu kami biasanya begitu. Bukan biasa. Lebih tepatnya kadang-kadang. Pergi ke Metro di daerah Kompleks Margahayu Raya. Ada pasar kaget di sana. Pengunjungnya banyak. Pedagangnya juga banyak, pada saling teriak. Ada suara Jawa, ada suara Sunda, Batak, dan suara-suara lainnya, yang sulit didentifikasi karena sudah tercampur oleh bahasa daerah lain, daerah tempat di mana ia kemudian menetap dan menikah. Punya anak. Punya KTP.
**
Di Metro, saya parkir motor di tempat yang sama orang lain juga parkir di sana. Juru parkir kasih saya kartu warna biru yang terbuat dari bahan semacam mika. Juru parkir memegang kartu warna merah dengan nomor yang sama yang diberikan kepada saya. Nomor 32.
"Oh", kataku.
"Boleh minta nomor yang lain gak, A?"
"Boleh", jawabnya, "Nomor berapa, Kang?"
"Nomor cantik laa...."
"Nah ini," si juru parkir kasih saya kartu dengan nomor 73.
"Ini nomor cantik gitu?"
"Nomor cantik, Kang!"
"Nanti itu ya, A," kataku kepadanya, "Agama akan terbagi ke dalam 73 golongan. Hanya satu golongan yang benar, yang diterima di sisi Allah."
"Kang, bentar ya," kata si juru parkir sambil pergi menghampiri motor lain yang masuk parkir.
**
Sungguh, saya masih tetap di atas motor ketika saya lihat si juru parkir kembali menghampiri saya.
"Nomor 73 aja, Kang?" tanyanya.
"Tadi orang itu nomor berapa?" tanyaku.
"Aduh, gak inget, Kang."
"Padahal saya pengen nomor yang tadi dikasih ke orang itu lho, A."
"Nomor berapa gitu?" dia bertanya.
"Nomor 34, kan?"
"Iya kali."
"Ya udah, ada nomor lain, A?"
"Yang ini?" Dia menunjukkan kartu nomor 45.
"Ya gak apa-apalah"
"Kang, bentar ya!" katanya kepadaku sambil lalu menghampiri motor yang mau keluar dari tempat parkir. Tidak lama kemudian dia kembali lagi menemui saya.
"Ya udahlah, A, nomor 45 aja," kataku, "Kebetulan ini kan Agustus. Macam untuk merayakan kemerdekaan, aku ambil kartunya. Mas, Mas, bentaaaar aja. Sebenarnya ada pengaruhnya enggak sih, nomor parkir itu?" tanyaku.
Turun dari motor.
"Buat bukti ngambil motor, Kang!”
"Aduh, gak ngerti, A," kataku sambil memasang standar motor.
"Yah pentinglah, A."
"Yang saya maksud itu nomornya," saya berdiri di dekat motor. Memainkan kunci motor.
"Duh, Kang. Nomor mah bisa bebas."
"Terus kenapa tadi saya harus pilih-pilih?" tanyaku.
"Kan si Akang yang minta. Tadi minta nomor cantik."
"Ya udah, gak usah dibahaslah ya, A. Makasih ya, A."
"Sama-sama. Bentar, kang." Lari pergi mengatur tempat buat motor yang baru masuk.
**
Eh, anak istriku sudah jauh jalan rupanya. Saya cari-cari dengan melempar pandang ke banyak arah. Saya hampiri seorang bapak yang pakai seragam hansip. Dia lagi ngopi sambil duduk di trotoar jalan. Sudah tua. Sudah nyaris kakek-kakek.
"Pak, lihat Rosi sama Timur gak?"
"Rosi siapa ya?" tanyanya.
"Istri sama anak saya, Pak, masak gak kenal," jawabku.
"Enggak, Den. Ke mana gitu?"
"Tadi bareng saya sih, tapi pas saya selesai bersin dia sudah enggak ada. Ke mana ya?" tanyaku seperti kepada diri saya sendiri. Saya lemparkan pandangan ke arah jauh.
"Masa? Istrinya bawa HP gak?"
"Enggak ada nomornya, Pak".
"Euh, atuh."
"Menurut Bapak mungkin enggak ya dia selingkuh?" tanyaku.
"Si Aden mah, paling-paling belanja atuh, Den," katanya.
"Harusnya dia bilang dulu, Pak, izin dulu sama saya sebagai suaminya kalau mau pergi," kataku. Si Bapak Hansip sedikit bergeser karena saya duduk di sebelahnya.
"Biar nanti kalau di rumah saya pukulin dia," ancamku pada diri sendiri, "Biar kapoklah, Pak!"
"Ah, Si Aden mah," katanya.
"Bapak pernah nyiksa istri gak?" tanyaku.
"Enggak pernah lah, Den! Kopi, Den?" mengangkat gelas kopinya.
"Udah tahu atuh, Bapak," jawabku. Si Bapak meminum kopinya.
"Pak, si Bapak pasti sangat baik sama istri ya, Pak?"
"Iya. Cari ke sana atuh, Den," anjurnya.
"Si Bapak, ngusir ya?"
"Bukan, maksudnya cari ke sana, mungkin belum jauh."
"Temenin yuk, Pak."
"Lagi jaga, Den," katanya.
"Menjaga siapa?" tanyaku.
"Ya, keamanan gitu," jawabnya.
"Ya udah. Saya cari dulu ya, Pak."
"Silakan. Silakan. Silakan!"
"Eh nama Bapak boleh saya catat, Pak?"
"Buat apa?" tanyanya.
"Buat kenang-kenangan aja. Biar inget kita pernah ngobrol," kataku.
"Lah, gak usahlah."
"Biarin, Pak. Siapa namanya, Pak?"
"Endi!"
"Oh. Endi. Pak Endi. Mangga, Pak!"
"Mangga. Mangga. Silakan, Den"
"Pak, bilang sama pak lurahnya, nulis HANSIP itu harusnya. HANSIF, pake F," kataku sambil beranjak dari duduk.
"Ah, gak tahu bapak mah".
"Mangga, Pak!"
"Mangga."
"Bukan permisi, Bapaaaak. Itu. Yang lagi bapak makan itu? Mangga ya?" saya menunjuk kue bungkus dekat gelas kopinya.
"Oh, bukan. Bandros, Den!"
"Mangga, Pak?"
"Bandros!"
"Bukan. Saya pergi dulu, Pak!"
"Ooh. Mangga. Mangga. Mangga!"
"Tadi katanya Bandros! Si Bapak mah gimana sih," kataku sambil lalu pergi,"Assalamualaikum."
"Alaikumsalam."
**
"Ayah!" terdengar suara anakku teriak memanggil. Rupanya dia sedang dengan ibunya, sudah lagi duduk di sebuah Pujasera.
"Ke mana sih?" tanya istriku.
"Anu. Tadi tukang parkir nanya-nanya segala. Bikin lama aja. Minta tips cara membangun keluarga sakinah, sama bagaimana caranya bisa mendapatkan istri yang cantik. Cerewet banget, sampe nanya istrinya mendominasi enggak, menyetujui praktik poligami enggak. Kalau pulang malam-malam istrinya marah gak. Udah umrah belum? Banyaklah."
"Ngapaiiin? Ada-ada aja!" katanya.
"Gak tahu. Ya biarin aja lah. Udah pada pesen belum?"
"Belum. Dari tadi nunggu si ayah lama banget."
Lalu kami memesan makanan sendiri-sendiri sesuai selera masing diri.
"Bu, kalau mau belanja nunggu biar agak siang aja. Biar lowong dulu. Masih banyak orang sekarang.”
"Iya. Sekarang masih berdesakan," katanya.
"Di samping itu, kalau jumlah permintaan lebih banyak harga akan otomatis tinggi. Kalau sebaliknya, harga akan relatif murah!"
"Jam sebelasan lah", tawarnya.
"Sip!"
**
Di tengah kami menikmati makanan, ada seorang pengemis menghampiri. Dia berupa bapak-bapak. Saya rasa dia masih muda dan kuat. Pake topi yang dibiarkan menyembunyikan wajahnya. Saya kasih dia uang seribu. Lalu dia mendoakan saya agar diberi tambahan rezeki.

"Pak," kataku selagi dia mau pergi, "Harusnya Bapak juga mendoakan diri bapak dong. Biar dapat tambahan rizki. Biar kaya. Biar enggak usah minta-minta."
"Iya, Den," sahutnya sambil ngeloyor pergi.
"Tahu gak, Bu," kata saya pada istri, "Pengemis adalah salah satu penyebab si Karma dalam cerita komik Si Soleh dan Si Karma, masuk neraka. Coba kalau pengemis enggak datang meminta uang ke si Karma, mungkin dia tidak akan berdosa karena mengusir pengemis," kataku.
"Ya, pengemis juga kan sudah menyebabkan si Soleh masuk surga karena memberi uang sama pengemis," timpalnya sambil pergi ke toilet.
**
Telepon selulerku berbunyi. Dari Syamsudin, temanku, alumnus Kimia ITB, dia tanya mau dijual enggak rumah saya yang di Padalarang.
"Buat kamu aja, Syam," jawabku.
"Ngawur, luh," katanya.
"Eh serius," jawabku, "Kayak yang gak tahu gua kaya lu."

"Ye. Bener mau dijual gak? Kalau mau dijual, ada yang mau beli."
"Nanti aja diobrolin di kantorlah, saya lagi sama cewek nih."
"Wuih. Main cewek luh?"
"Freelaaaance!!", kataku, "Yang tetap kan istri."
"He he. Ya sudah ya."
"Eh, Syam... Syam!"
"Apa?"
"Tahu yang jualan kuda nil di mana ya?”
"Hah? Di mana? Buat apa kuda nil? Ngaco, Lu!"
"Ya udah nanti sekalian diobrolin di kantor ya?"
"Iya lah."
"Serius, Syam, obrolin soal kuda nil juga ya?"
"Iya lah."
"Nuhun, Syam." Klik.
"Siapa, Ayah?" tanya anakku.
"Teman ayah. Om Syam. Nanya rumah kita mau dijual enggak."
"Bukan, Ayah, yang mau beli kuda nil siapa?”
"Oooh. Ayah becanda."
"Yah, ada gitu yang jual kuda nil?"
"Ada mungkin."
"Beli, Yah."
"Susah, di mana?"
"Di Lembang ada gak, Yah?"
"Paling juga di Mesir. Mana si ibu?"

***

Bandung Juni 2007

Sonnet 116

04 September 2009

William Shakespeare

Let me not to the marriage of true minds
Admit impediments; love is not love
Which alters when it alteration finds,
Or bends with the remover to remove:
O, no, it is an ever-fixèd mark,
That looks on tempests and is never shaken;
It is the star to every wand'ring bark,
Whose worth's unknown, although his heighth be taken.
Love's not Time's fool, though rosy lips and cheeks
Within his bending sickle's compass come;
Love alters not with his brief hours and weeks,
But bears it out even to the edge of doom.
If this be error and upon me proved,
I never writ, nor no man ever loved.